Hasil penelitian Unicef di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara pada 2006 yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 persen) dilakukan oleh guru, layak menjadi perhatian kita. Hasil pemenitian itu memberikan kesadaran bahwa kekerasan bisa terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan sekolah, tempat yang selama ini dipercaya paling aman dan terbaik untuk anak.
Selain itu, hasil penelitian tersebut memberikan kesadaran pada kita bahwa kekerasan pada anak tidak hanya berupa kekerasan fisik. Namun, bisa berupa kekerasan nonfisik, seperti pemberian tugas berlebihan, memberikan target prestasi terlalu tinggi, hingga memaksa anak melakukan sesuatu di luar minatnya.
Perlu disadari, kekerasan seperti itu, terkadang -bahkan sering- tidak disertai niat jahat. Sebaliknya, tindakan itu malah berselimut niat baik. Karena itu, pada umumnya mereka yang melakukan kekerasan pada anak sama sekali tidak merasa bersalah. Mereka merasa bahwa dirinya telah berbuat kebaikan. Telah memberikan yang terbaik kepada anak.
Karena itu, pengertian atau definisi tentang kekerasan kepada anak yang meliputi aspek fisik dan nonfisik perlu dimengerti oleh mereka yang memiliki tugas mendidik anak -baik guru maupun orang tua. Anak harus dilihat sebagai individu mandiri, yang berbeda dengan orang tua atau gurunya. Anak memiliki bakat, kemampuan, minat, kebiasaan yang berbeda. Mereka bukanlah makhluk kecil yang merupakan jelmaan guru atau orang tuanya.
Memang, tidak mudah untuk bisa memiliki pemahaman seperti itu. Guru maupun orang tua sering memiliki sejumlah ambisi pribadi yang dibebankan di pundak anak. Mereka selalu berdalih demi masa depan anak. Mereka menganggap anak sebagai benda mati yang masa depannya harus ditentukan guru atau orang tua.
Khusus untuk guru, mereka terkadang juga dipaksa oleh keadaan. Yakni, adanya sistem pendidikan yang tidak mengacu kepada kepentingan anak. Tapi, lebih mengacu kepada kepentingan industri, kepentingan kapitalis maupun kepentingan penguasa. Anak dipaksa memiliki kualifikasi tertentu demi mengejar standardisasi yang ditetapkan penguasa, dunia industri, atau para kaum kapitalis.
Padahal, hakikat pendidikan semestinya bukan itu. Pendidikan seharusnya lebih diarahkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri anak. Anak harus diarahkan menjadi dirinya sendiri. Dengan demikian, ketika dewasa, anak bisa hidup dari dirinya sendiri. Bukan hidup karena menjadi kuli orang lain atau menjadi budak kaum pemilik modal.
Bila berbicara sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini, betapa ciri-ciri eksploitasi kepada anak itu begitu jelas. Anak yang punya karakteristik berbeda-beda dipaksa memiliki kemampuan sama. Lewat ujian nasional (unas), mereka dipaksa memiliki kepampuan yang memadai dalam beberapa mata pelajaran. Padahal, tidak semua anak memiliki kemampuan baik di bidang itu -tahun lalu, matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Anak yang memiliki bakat luar biasa di bidang seni, olahraga, atau bidang lain, tapi lemah di ketiga mata pelajaran tadi bisa divonis menjadi anak bodoh. Anak tersebut akan divonis tidak lulus, sehingga kesempatan memperoleh pendidikan yang lebih tinggi menjadi hilang. Kasus ini sudah banyak terjadi. Karena itu, sudah saatnya kita mengevaluasi diri. (Sumber : Jawa Pos Rabu 21 Nov 2007)
21 November 2007
KEKERASAN GURU PADA ANAK
Posted by Utomo
4:58 AM, under | 1 comment
1 komentar:
Hasil penelitian Unicef di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara pada 2006 yang menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak sebagian besar (80 persen) dilakukan oleh guru
penelitiannya valid nih??
yang saya baca 80% dilakukan orang yang dekat dengan anak-anak... bisa guru, ortu dan kerabat :)
Posting Komentar
Ass. wr. wb.
Trima kasih anda sudi meninggalkan komentar bagi kami, apapun isi komentar anda, kami yakin itu berangkat dari kepedulian anda tentang pendidikan terutama di Kabupaten Kendal ini.
Wassalam.